Sejarah Belitung

Abad ke 7, Belitung masih belum ditandai adanya kekuasaan dari kerajaan mana pun. Kerajaan Sriwijaya pada masa itu hanya menanamkan kekuasaannya di Pulau Bangka dengan menancapkan sebuah Prasasti Kota Kapur, di pantai Bangka barat. Prasasti itu merupakan prasasti persumpahan hanya untuk menundukkan Bangka. Tahun 899, nama “Belitung” di kenal erat sekali dengan nama raja Mataram kuno, Maharaja Rakai Watukara Dyah Balitung dari dinasti sanjaya yang berkuasa di Jawa Tengah dan Timur antara tahun 899 hingga 910. Nama Dyah Balitung terpahat dalam 14 prasasti Jawa Kuno pada batu dan tembaga.
Tahun 1293, Majapahit menguasai Bangka dan Belitung maka nama Belitung tertulis dalam Syair Nagara Kartagama tahun 1365, ditulis oleh Mpu Prapanca. Pada tahun 1413 kedatangan Laksamana Cheng Ho dari China menyebutkan Belitung dalam catatan perjalanannya. Tahun 1436, Fei Hsin ahli sejarah China juga mencatat tentang Belitung.
Pada masa Majapahit, Belitung dipimpin oleh seorang panglima kerajaan yang disebut Rangga Yuda oleh penduduk disebut Rangga Uda atau Ronggo Udo berkuasa di Badau. Raja ini memerintah sampai beberapa generasi dan tiap generasi rajanya tetap saja bergelar dengan sebutan Rangga Uda atau Ronggo Udo sampai turunan ke tiga atau raja terakhir tak memiliki keturunan laki-laki sebagai pewaris. Pada masa ini penduduknya masih memeluk Hindu dan menyembah berhala. Nampaknya riwayat “raja berekor” yang sekarang jadi legenda hidup di zaman ini.
Masa pemerintahan Rangga Yuda atau Ronggo Udo, dikenal ada empat wilayah kekuasaan antara lain, wilayah Badau disebut Tanah Yuda atau Singa Yuda yang berarti negeri panglima atau tempat pemerintahan raja, wilayah Buding disebut Istana Yuda yang berarti tempat pesanggrahan raja, wilayah Sijuk disebut Wangsa Yuda atau Krama Yuda yang berarti tempat keluarga serta abdi raja. dan terakhir adalah Sura Yuda yang berarti tempat suci raja atau daerah yang dikeramatkan.
Tahun 1520, mundurnya kerajaan Majapahit yang seiring dengan masuknya Islam di Jawa, Belitung pun kedatangan seorang ulama dari Gresik, yaitu Datuk Mayang Gresik, menandai masuknya Agama Islam pertama di Belitung, beliau masuk dari sungai Brang dan berdiam di Pelulusan kemudian berhasil menarik banyak pengikut hingga beliau mengusai tahta kerajaan Badau dari tangan raja Ronggo Udo yang terakhir. Setelah Datuk Mayang Gresik menduduki tahta, beliau juga diberi gelar Ronggo Udo, namun karena Beliau Islam maka disebut Kiai Ronggo Udo atau Ki Ronggo Udo. Setelah menguasai Badau beliau tetap berkedudukan di Pelulusan.
Kepercayaan dan agama penduduk terpecah menjadi dua, yang beragama Islam menjadi kukuh di Pelulusan sedangkan sebagian pemeluk Hindu tetap bertahan di Badau dan sekitarnya juga di tiga wilayah Yuda lainnya.
Tahun 1590-an, Ki Ronggo Udo atau Datuk Mayang Gresik bersama pengikutnya yang sudah Islam, memindahkan pusat pemerintahan ke hulu tepi sungai Balok atau wilayah Dendang dengan alasan lebih memudahkan pelayaran ke Jawa karena teluk Balok menghadap langsung ke laut Jawa. Perpindahan pusat pemerintahan ini memunculkan ketidak-senangan dari penduduk lama yang tetap mau bertahan di Badau terhadap penduduk yang ikut dengan raja mereka hingga muncul “Persumpahan Perenggu” dan sumpah itu mengutuk pernikahan antara turunan orang Badau dengan orang Dendang yang menjadi pengikut Ki RonggoUdo atau Datuk Mayang Gresik. Kepercayaan terhadap sumpah itu berlangsung hingga beberapa abad.
Sekitar tahun 1600, masuklah seorang bangsawan dari Mataram, Kiai Masud atau Kiahi Gegedeh Yakob alias Ki Gede Yakob. Ki Gede Yakob adalah putra Pangeran Kaap seorang mangkub atau bendahara. Ki Gede Yakob juga adalah ponakan Ki Gede Pamanahan. Sebagai seorang ulama Ki Gede Yakob diterima baik oleh raja Balok Ki Ronggo Udo atau Datuk Mayang Gresik karena misi dari ulama Gresik ini belumlah maksimal mengIslamkan penduduk Belitung apalagi praktek perdukunan dan mistik masih begitu kental merasuki penduduknya.
Ki Ronggo Udo atau Datuk Mayang Gresik tak memiliki putra mahkota hingga ketika putri tunggalnya Nyi Ayu Kusuma menikah dengan Ki Gede Yakob Tahta kerajaan Balok diserahkan Ki Ronggo Udo kepada Ki Gede Yakob. Penyerahan kekuasaan ini bukan semata karena Ki Ronggo Udo tidak memiliki putra mahkota tapi Ki Gede Yakob adalah putra keluarga Negara Mataram yang hampir menguasai seluruh pulau Jawa kecuali Banten, Cirebon, dan Batavia.
Tahun 1618-1661, Depati Cakraninggrat I Ki Gede Yakob. Penyerahan kekuasaan dari Ki Ronggo Udo kepada mantunya Ki Gede Yakob lagi-lagi menimbulkan ketidakpuasan dari empat daerah kecil yang masih dikuasai oleh turunan keluarga Rangga Yuda atau sisa dari kekuasaan Majapahit yang dulu berkuasa di Badau, kini masih menguasai tiga wilayah lainnya yaitu Buding, Sijuk, dan Belantu. Belantu sendiri diam-diam sudah mengirimkan upeti takluk ke Palembang tidak ke Balok.
Setelah naik tahta tahun 1618, Ki Gede Yakob meminta restu serta perlindungan kepada Cakrakusuma Agung atau Sultan agung di Mataram atas kekuasaannya di Balok. Tapi oleh Sultan menganjurkan untuk segera minta pengakuan serta perlindungan pada raja Palembang karena Palembang masih dibawahi Mataram ( Palembang dirongrong oleh Banten, sementara Banten dibayangi oleh Mataram. Tunduknya Palembang pada Mataram hingga tahun 1677 dan Sultan Palembang masih mengirim 10 armada kapal untuk membantu Mataram dalam pemberontakan Trunojoyo)
Perintah Sultan Mataram untuk minta perlindungan raja Palembang dipenuhi oleh Ki Gede Yakob kemudian oleh mertuanya yaitu Ki Ronggo Udo mengutus seorang kepercayaannya yang berasal dari Badau. Utusan ini dikhususkan guna meminta pengakuan dan perlindungan Palembang atas kekuasaan seorang putra Mataram. Konon, utusan ini hanya seorang diri dan menyelesaikan tugasnya hanya beberapa hari saja. Dan utusan itu menjadi terkenal hingga penduduk melekatkan sebuah senandung yang dikenal sampai kini “Unggang-Unggit Perau Badau, Sape Kecit Debawak Ngayau” dengan demikian seluruh sisa dari kekuasaan Majapahit yang tersisa di Belitung takluk kepada raja Balok keluarga Mataram Islam ini.
Tahun 1661 Ki Gede Yakob menguasai seluruh Belitung atas restu Mataram dan memerintah Kerajaan Balok dengan pangkat depati dan bergelar Cakraninggrat dan keturunannya bergelar Kiahi Agus atau Ki Agus untuk laki-laki, dan Nyi Ayu atau Nyayu untuk turunan perempuan.
Pada masa ini sudah dikenal adanya rumah balai atau rumah adat yang disebut dengan Ruma Gede. Balai atau rumah adat ini didirikan karena untuk mengikat penduduk yang terpisah dari empat wilayah serta beragam etnis yang sudah bermukim di Belitung. Hukum Adat mulai dilakukan dengan tegas di masa ini, baik perdata atau pidana; misal jika ada yang membunuh maka si pembunuh harus dihukum gantung, jika ada yang tak sanggup membayar hutang maka harus menjadi budak dari piutang hingga hutangnya lunas, jika mengambil istri orang hukumannya dibunuh di gelanggang umum, jika laki-laki dan perempuan bermuat mesum atau berzina maka hukumannya dibuang ke laut, dan lain sebagainya.Pada masa Cakraningrat I seorang ulama Islam, Syech Abdul Jabar Syamsudin, dari Pasai, menyiarkan agama Islam di Balok dan memperkenalkan awal kesenian hadra atau rudat. Makam beliau berdekatan dengan makam Ki Gede Yakob di Balok Lama.
Tahun 1661-1696, Depati Cakraninggrat II atau Ki Agus Abdullah atau KA Mending alias Ki Mending. Beliau memindahkan pusat pemerintahan ke Tebing Tinggi atau Balok Baru. Tak diketemukan alasan mengapa beliau memindahkan pusat pemerintahannya Pada Manukrip yang ditulis oleh KA Abdul Hamid tahun 1934; Raja Balok ini mengendalikan pemerintahannya dari tempat pertapaannya. Namun Beliau sesungguhnya tak sepenuhnya meninggalkan Balok Lama karena Balok Baru hanya berjarak beberapa kilometer saja. Tahun 1668, kedatangan kapal Belanda “De Zandloper”, dipimpin oleh Jan de Harde, nampaknya naik ke Balok Lama, dalam risetnya ia menggambarkan tentang situasi dan kondisi kerajaan Balok termasuk adanya rumah balai atau rumah adat. Beliau seorang pertapa, menganut mistis terkenal dengan julukan raja dukun yang memberikan wewenang kepada para dukun di tiap-tiap kampung atau kubok. Jadi penduduk tidak lagi perlu meminta izin raja jika mau menguasai tanah ladang tapi cukup ke dukun. Beliau mencanangkan Tanah Pusake yang tak boleh diganggu antara lain Tanjung Kelumpang, Hulu Sungai Lenggang, Hulu sungai Kembiri.Cakraninggrat II, KA Abdullah atau Ki Mending di makamkan di Balok Baru.
Tahun 1696-1700, Depati Cakraninggrat III, KA Ganding atau Ki Gending, menjadi raja Balok ke 3 menggantikan Ki Mending. Sebelum beliau meduduki tahta menggantikan ramondanya, beliau selalu ke Kataram, belajar ilmu pemerintahan kepada sunan Tegalwangi hingga ketika sudah memerintah, beliau membagi kekuasaan kepada 4 wilayah yang pada masa Cakraninggrat I dikuasai langsung oleh raja atau depati Ki Gede Yakob. Ke 4 wilayah ini dinamakan ngabehi (4 wilayah yang namanya berbau hindu seperti Tanah Yuda, Istana Yuda, Krama Yuda, Sura Yuda sudah tidak dipakai lagi) Pemerintahan wilayah di ngabehi dipimpin oleh orang dekat dengan keluarga raja, ia disebut ngabe atau ngabei yang artinya orang keraton. Ngabehi adalah wilayah setingkat kecamatan antara lain, Ngabehi Buding, Ngabehi Badau, Ngabehi Sijuk, dan Ngabehi Belantu. Pada masa ini mengikisan ajaran yang berbau Hindu terus gencar dilakukan bersama masuknya ulama-ulama dari Pasai dan seorang anak raja menjadi ulama yang sangat taat keIslamannya yaitu KA Siasip, beliau sudah meninggalkan ajaran kaula gusti yang masih melekat dalam ajaran keluarga di keraton. Sebagai Penghulu Islam, beliau mengajar berbagai sistem dan tatacara adat-istiadat yang disesuaikan dengan ajaran Islam, seperti tatacara pernikahan dan perayaan pernikahannya. Sampai KA Siasip meninggal, beliau tetap dihormati bahkan ada orang mengeramatkan makamnya yang disebut dengan Keramat Sisil, Konon, ada pohon sisil di makamnya, jika dipotong dahannya maka akan tumbuh lagi dalam sekejab. Cakraninggrat III, KA Ganding atau Ki Gending meninggal sewaktu bekunjung ke Jawa dan di makamkan di Pamanukan Jawa Barat.
Tahun 1700-1740. Depati Cakraninggrat IV, KA Bustam atau Ki Galong. Beliau adalah adik dari KA Ganding, beliau menjadi raja karena putra mahkota yaitu KA Siasip tidak berkenan jadi raja, beliau lebih suka menjadi penghulu. Dan KA Siasip adalah kepala penghulu Agama Islam pertama di Belitung.Pada masa pemerintahan KA Bustam, Beliau mengusir seorang seorang ulama atau seorang guru dari KA Siasip yang bertekad mengIslamkan semua dukun-dukun yang masih menganut ajaran nenek moyangnya. KA Bustam adalah penganut kental ajaran mistis yang diturunkan oleh kakeknya Ki Mending. Pengaruh Ulama Islam begitu mengusik pikiran KA Bustam, ia Khawatir itu akan menjadi ancaman bagi kedudukannya, karena ia menyadari jika tahtanya bukanlah haknya meski sudah diserahkan KA Siasip sepenuhnya.
Tahun 1705 KA Bustam mengangkat seorang ulama dari Mempawah, Datuk Ahmad yang dikenal dengan sebutan Datuk Mempawah untuk menjadi ngabehi di Belantu. Ulama Mempawah ini masih toleran dengan ajaran mistis atau adat perdukunan juga masih menghormati adat kematian seperti acara bilangari.KA Siasip terus bertekad dengan cara untuk meluruskan ajaran islam sejatinya meski dapat tantangan dari pamannya sendiri. Dan pada waktu itu masuk lagi seorang ulama dari Pasai bernama Syech Abubakar Abdullah, beliau masuk lewat sungai Buding dan berdiam di Ngabehi Buding, di sini beliau mengIslamkan seorang sakti bernama Tuk Kundo. Namun kemudian Syech Abubakar Abdullah berhasil dibunuh oleh KA Bustam, setelah beradu kesaktian masing-masing. Syech Abubakar Abdullah dimakamkan di Gunung Tajam yang terkenal dengan sebutan Keramat Datuk Gunong Tajam. Mendengar kejadian itu, Datuk Ahmad atau Datuk Mempawah jadi kurang simpati lagi kepada raja yang membunuh ulama hingga beliau khawatir dengan keselamatannya dan kemudian minta perlindungan kepada Sultan Pontianak. Tahun 1641 ketika menuju Pontinak, meninggal di sana dan di makamkan di Mempawah.


http://belitung-is-myheart.blogspot.com

Comments

Popular posts from this blog

Sekilas Bangka Belitung

Kayu Petaling dan Simpor Laki

Sejarah Belitung 3